Monthly Archives: June 2012

Goodbye random-ness, hello happiness

Semester paling menyedihkan dan absurd. Banyak hal terbengkalai di semester ini, mulai dari mendidihnya tingkat kejenuhan hingga masalah non teknis yang nggak penting-penting amat. Masalah yang nggak penting-penting amat ini justru yang lebih banyak menguras energi dan emosi. Labil, sedih tanpa sebab yang jelas, hilang semangat menjadi eksesnya. Baiklah jika ingin memulai yang baik, maka harus meninggalkan hal-hal yang buruk dulu. Lupakan semua titik jenuh, lupakan subjek yang absurd itu, mulai semua dari nol bahkan minus. Untungnya semester ini ada KKN, ritual wajib bagi angkatan tua seperti saya. Lumayan untuk mengganti warna hidup yang lumayan suram semester ini. Menjadi lahan untuk kontemplasi, waktunya bertanya kepada nurani agar menemukan harmoni.

Teringat kata-kata seorang teman “kita memperbaiki diri dulu saja agar kelak mendapat yang terbaik pula”. You’ll never walk alone Nak, banyak yang harus diwujudkan tahun ini. Ibu, ayah, mas maaf mengecewakan kalian semester ini, insya Allah ini yang terakhir kekecewaan yang saya berikan.

 

Goodbye random-ness goodbye you, welcome happiness !

Akulturasi

“Akulturasi bergerak dalam persimpangan jalan antara isolasi dan absorpsi antara masa lampau dan masa depan”

“Menjadi satu”  itu memang seharusnya suatu akulturasi bukan asimilasi. Perpaduan dua karakter manusia, namun tanpa kehilangan ciri khas masing-masing. Perpaduan yang berujung pada harmoni dan presisi. Dialektika antara dua manusia yang saling menjaga keseimbangan, menepikan egoisme dan tetap menghidupi jiwa. Idealisme semacam ini memang susah terwujud. Butuh sikap yang matang untuk mengubah utopia menjadi realita.

Sudut maya

“Kehilangan hanya milik orang yang pernah memiliki sesuatu”

Saya yakin ini bukan masalah kehilangan atau tidak. Lebih dari itu, ini soal kedewasaan seorang manusia dalam bersikap. Kedewasaan biologis yang ternyata bukan jaminan dewasa pula psikologisnya. Seseorang dianggap dewasa secara psikologis ketika ia mampu tegas dalam mengambil keputusan. Entah itu keputusan yang benar atau salah, yang penting menentukan sikap. Inilah yang susah, orang lebih takut salah saat menentukan sikap. Lebih cepat mengibarkan bendera putih daripada maju ke medan perang. Dan entah kenapa sangat sedih ketika memutar Goodbye nya Air Supply di ipod.

 

 

Hidup itu bundar

Sembari menunggu kantuk yang tak kunjung menghampri, terciptalah sedikit guratan cerita. Cerita tentang hidup yang bagaikan permainan sepakbola.

Strategi

 Dalam hidup kita perlu tim untuk bisa mengoper bola. Bola ibaratnya suatu pilihan hidup. Kita akan menggoceknya sendiri atau justru berbagi dengan orang yang kita percaya bisa mengantarkan bola hingga ke tujuan akhir, yang kita sebut kebahagiaan. Jika kita terburu-buru mengoper bola, ada kalanya mosi tidak percaya kita meningkat. Adrenalin yang berbanding lurus dengan egoisme turut membumbui . Jika kita menemukan “tim” yang tepat, voila gol! Nah ketika asyik menyerang lawan, jangan lupakan untuk bertahan. Seperti itu pula dalam hidup, kita harus tahu kapan harus menyerang kapan harus bertahan ala Italia masternya gerendel, Catenaccio. Bertahan seperti yang dilakukan Italia memang membuat permainan terasa menjemukan, begitu pula jika hidup hanya bertahan dan tidak berani break your limit. Pecahkan semua yang menghalangimu, terabas saja, dengan cara-cara yang baik tentunya.

Wasit

Selajutnya wasit. Dalam kehidupan sesungguhnya, wasit ibarat iman yang terus akan menjaga kita. Jika kita melakukan hal-hal yang tidak baik, maka sang Empu-Nya hidup akan memberi kita kartu kuning dalam bentuk teguran bahkan cobaan. Bedanya dengan wasit di lapangan, empu-Nya hidup tidak akan memberi kartu merah. Empu-Nya hidup akan selalu membuka pintu maaf bagi mereka yang memang meminta ampun dan bertansformasi menjadi pribadi yang lebih baik.

Waktu

 Jika di pertandingan sepakbola tersedia waktu 2×45 menit. Sedikit berbeda, dalam hidup kita tidak pernah tau berapa tahun, menit, detik yang tersisa bagi kita untuk merasakan oksigen. Dan bedanya lagi tidak ada injury time dari sang empu-Nya hidup. Tegas, lugas, dan tuntas berapa umur kita telah tertulis di kontrak perjanjian hidup kita. Tidak ada waktu tambahan.

 Fairplay

The last but not the least. Sportif atau fairplay yang sering kita lupakan. Ketika kenyataan tidak berdamai dengan ekspektasi, kita terlampau mudah menyalahkan orang lain. Kita terlalu angkuh untuk legowo. Kontemplasi saja untuk mencari apa akar masalahnya. Jangan-jangan akar masalah justru datang dari berlebihannya ekspektasi yang tertanam di pikiran kita. Ekspektasi yang berlebih namun minim stimulus untuk merealisasikannya, it means nothing dab.

 

Lalu pertanyaannya sudah siapkah mental kita menghadapi hidup yang bundar seperti bola?

(e)mosi tidak percaya

Seandainya setiap orang sebelum melakukan suatu tindakan selalu menempatkan dirinya jika ia yang mengalami tindakan itu. Menempatkan diri sebagai subjek yang melakukan suatu predikat jika dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sebelum menjatuhkan, bagaimanakah jika kita yang berada di posisi dijatuhkan. Mengubah kalimat aktif menjadi pasif agar kita lebih hati-hati memilih “jalur” mana yang kita ambil. Sudah siapkah kita disakiti, sebelum menyakiti orang lain? sudah siapkah kita dipermainkan sebelum mempermainkan?sudah siapkah kita ditertawai sebelum menertawakan orang lain? Atau sudah siapkah kita dipercaya sebelum mempercayai orang lain?

 Perlunya memberi stimulus kepada hatii agar kita tahu bagaimana harus bersikap, ya dengan menanyakan beberapa pertanyaan di atas kepada nurani. Siap?

Tengah Malam

Ternyata saya bukan penjudi yang baik. Melewatkan salah satu “karya” terbaik Tuhan demi sesuatu yang fana. Ketika saya berusaha untuk kembali percaya terhadap spesies homo sapiens, ternyata saya gagal. Saya selalu berfikir positif terhadap manusia. Saya selalu berpikir positif karena saya yakin manusia tidak akan tega memakan manusia lain. Ternyata memang benar homo homini lupus. Manusia memang serigala bagi manusia lainnya. Bedanya hanya apakah ia benar-benar menampakkan sosok sebagai serigala atau justru kamuflase dengan wujud yang lebih lembut. Ah tapi tidak benar juga jika hanya menyalahkan orang lain dan keadaan. Justru ini mungkin salah saya sendiri, salah menilai orang, salah menebak akhir cerita.

“Tangan kita bau menyengat, mata perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa” (Madre, Dee)

 

Kabut

Ini apa ya. saya juga kesulitan mendefinisikannya. Sesuatu yang absurd, gelap, berkabut. Sesuatu yang memaksa untuk berfikir dan mencerna makna dibaliknya. Makna yang belum terlihat, samar-samar. Hingga membuat saya takut menerka apakah itu nyata atau hanya sudut maya belaka. Sudut yang imajiner, sesaat lantas hilang.

Beri saya lampu agar saya mengerti jelas apa yang ada di balik kabut itu. Beri saya kata agar saya bisa mengeja makna tanpa cela, tanpa jeda.

Hujan di bulan Juni

Judul yang sama dengan puisi milik Sapardi Djoko Darmono. Puisi yang bercerita tentang keragu-raguan yang memaksa memadamkan rasa yang ada. Puisi yang bercerita tentang “penghianatan” hujan di bulan Juni yang notabene adalah musim kemarau. Hujan memang menjadi kata yang sering digunakan penyair bahkan quote film. Tidak hanya itu, hujan menjadi simbol romantisme. Tengok saja Shah Rukh Khan yang hobi main hujan sambil menari-nari. Belum lagi film Midnight in Paris dimana diakhir cerita ada adegan sang pria mengajak si wanita untuk merasakan sensasi hujan, berdua dalam kesenduan malam. Tidak ketinggalan pula film Lovely Man yang meminjam kata hujan menjadi quote yang menarik. “kita tidak perlu berteduh dari hujan, kita nikmat saja”. Ah hujan andaikan kamu manusia kamu pasti sudah meminta royalti atas penggunaan kamu sebagai inspirasi. Jika kamu manusia kamu pasti dengan angkuhnya meminta pengakuan dan penghargaan.

Hujan memang selalu bisa menghapus jejak di tanah, menghapus kekeringan jiwa, dan menghadirkan genangan harapan.

Terjebak?

“Tidak ada istilah mentok atau terjebak, yang ada cuma belum melihat pandangan lain, dunia luar”

Beberapa bulan lalu atau tahun lalu saya merasakan terjebak pada satu titik. Supermassive Black Hole kalau kata Muse. Terjebak di satu titik yang terlanjur membuat saya nyaman hampir setahun lamanya. Satu titik yang dulu mampu menyita semua akal sehat saya, energi saya. Awalnya memang berat mencoba lepas dari magnet titik itu, sangat berat. Mungkin karena saya terlalu memakai perasaan dan belum belum mencoba memberi waktu pada logika. Namun akhirnya ya sadar juga kalau ternyata mati-matian menganggap titik itu punya kita, jodoh kita ya salah juga. Obatnya cuma satu, jatuh cinta lagi pada orang yang tepat. Dan kebetulan waktu itu ketemu teman lama,” teman” yang mengajarkan betapa perlunya berfikir dua kali dalam menentukan sikap, yang mengajarkan jika kesempatan hanya datang sekali. Teman yang terlewatkan. Dan sekali lagi masih terlewatkan. Tapi sisi positifnya, saya bisa menjadi bisa untuk membiarkan si titik itu pergi. Saya lupa, bahkan acuh kepada titik itu. Meskipun akhirnya belum sesuai yang saya inginkan, setidaknya ada hikmahnya. Bebas seutuhnya dari titik itu.

Kesimpulannya, manusia terlalu sering menarik kesimpulan, terlalu angkuh untuk menebak akhir cerita hidupnya sendiri.

 

Judi

Melakukan perjudian terbesar bukanlah hal yang menyenangkan. Seperti melempar dadu, kamu tidak pernah tahu angka berapa yang akan muncul. Satu, dua, tiga..atau angka favorit tiap main ular tangga yaitu enam. Perjudian yang mungkin saja akan membuat kamu dijuluki God of gambler atau justru berakhir seperti Yudhistira yang kalah bermain dadu melawan Duryudana. Kehilangan segalanya, kehilangan kehormatan seperti yang dialami oleh Yudhistira. Kehilangan istana, dan yang jauh lebih menyedihkan adalah kehilangan nilai-nilai humanis. Kehilangan hal yang terakhir inilah yang saya takutkan. Membayangkan sebuah tubuh yang sempurna dari luar, lengkap dengan panca indera sebagai navigasi namun tidak punya nilai humanis sebagai esensi. But  this is life, you must be a good  gambler to live your life