Sembari menunggu kantuk yang tak kunjung menghampri, terciptalah sedikit guratan cerita. Cerita tentang hidup yang bagaikan permainan sepakbola.
Strategi
Dalam hidup kita perlu tim untuk bisa mengoper bola. Bola ibaratnya suatu pilihan hidup. Kita akan menggoceknya sendiri atau justru berbagi dengan orang yang kita percaya bisa mengantarkan bola hingga ke tujuan akhir, yang kita sebut kebahagiaan. Jika kita terburu-buru mengoper bola, ada kalanya mosi tidak percaya kita meningkat. Adrenalin yang berbanding lurus dengan egoisme turut membumbui . Jika kita menemukan “tim” yang tepat, voila gol! Nah ketika asyik menyerang lawan, jangan lupakan untuk bertahan. Seperti itu pula dalam hidup, kita harus tahu kapan harus menyerang kapan harus bertahan ala Italia masternya gerendel, Catenaccio. Bertahan seperti yang dilakukan Italia memang membuat permainan terasa menjemukan, begitu pula jika hidup hanya bertahan dan tidak berani break your limit. Pecahkan semua yang menghalangimu, terabas saja, dengan cara-cara yang baik tentunya.
Wasit
Selajutnya wasit. Dalam kehidupan sesungguhnya, wasit ibarat iman yang terus akan menjaga kita. Jika kita melakukan hal-hal yang tidak baik, maka sang Empu-Nya hidup akan memberi kita kartu kuning dalam bentuk teguran bahkan cobaan. Bedanya dengan wasit di lapangan, empu-Nya hidup tidak akan memberi kartu merah. Empu-Nya hidup akan selalu membuka pintu maaf bagi mereka yang memang meminta ampun dan bertansformasi menjadi pribadi yang lebih baik.
Waktu
Jika di pertandingan sepakbola tersedia waktu 2×45 menit. Sedikit berbeda, dalam hidup kita tidak pernah tau berapa tahun, menit, detik yang tersisa bagi kita untuk merasakan oksigen. Dan bedanya lagi tidak ada injury time dari sang empu-Nya hidup. Tegas, lugas, dan tuntas berapa umur kita telah tertulis di kontrak perjanjian hidup kita. Tidak ada waktu tambahan.
Fairplay
The last but not the least. Sportif atau fairplay yang sering kita lupakan. Ketika kenyataan tidak berdamai dengan ekspektasi, kita terlampau mudah menyalahkan orang lain. Kita terlalu angkuh untuk legowo. Kontemplasi saja untuk mencari apa akar masalahnya. Jangan-jangan akar masalah justru datang dari berlebihannya ekspektasi yang tertanam di pikiran kita. Ekspektasi yang berlebih namun minim stimulus untuk merealisasikannya, it means nothing dab.
Lalu pertanyaannya sudah siapkah mental kita menghadapi hidup yang bundar seperti bola?